AKAD WAKALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Wakalah
Wakalah memiliki beberapa pengertian dari
segi bahasa, diantanya yaitu al-hifdz (perlindungan), at-tafwid
(penyerahan), dan pendelegasian atau pemberian mandat. menurut
istilah syar’i wakalah ialah akad perwakilan antara dua pihak, di mana
pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas
nama pihak pertama. Tentu dalam hal perwakilan yang boleh diwakilkan.
Wakalah menurut istilah, di antara para ulama terjadi
perbedaan pendapat. Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah
adalah : “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak
(kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
Hanafiyah
berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Seseorang menempati diri orang lain dalam
tasharruf (pengelolaan)”.
Ulama
syafi’iyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Suatu ibarah seorang
menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
Hanabilah
berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Permintaan ganti seseorang yang
membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya terdapat
penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia”.
Ibnu Arfah menyatakan bahwa al wakalah terjadi apabila satu pihak menunjuk pihak yang lain untuk melalkukan suatu pekerjaan dalam urusan tertentu. Dalam hal ini, seorang yang telah diberikan hak perwakilan diperbolehkan melakukan apa saja yang boleh di lakukan oleh pihak yang memberikan perwakilan, seperti melakukan kontrak, menagih dan memberikan hutang/pinjaman atau melepaskannya. Asy Syafi'i mejelaskan akad al wakalah ini sebagai perwakilan seseorang untuk menyerahkan apa yang dilakukannya kepada orang lain.
Dari beberapa pengertian ulama di
atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa wakalah pada
intinya merupakan pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh
seseorang kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat
diwakilkan dengan suatu akad tertentu pula. Pelimpahan
kekuasaan tersebut dilakukan oleh pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak
kedua dalam melakukan sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang diberikan
oleh pihak pertama, akan tetapi apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai dengan
syarat yang telah ditentukan maka semua resiko dan tanggung jawab sepenuhnya kembali
menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
2
Ada
beberapa jenis wakalah, antara lain:
1. Wakalah al muthlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa
batasan waktu dan untuk segala urusan.
2. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukkan wakil untuk bertindak
atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3. Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah
tetapi lebih sederhana dari al muthlaqah.
B.
Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyari’atkan wakalah karena
manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan
atau kesempatan untuk menyelesaikan segala
urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan seseorang perlu
mendelegasikan urusan tertentu kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Dalam hal ini wakalah ditetapkan boleh dilakukan dan diakui sebagai ikatan
kontrak yang disyariatkan. Dari dasar hukum ibahah (diperbolehkan),
al-wakalah bisa memiliki muatan sunnah, makruh, haram atau bahkan wajib, sesuai
dengan motif pemberi kuasa, pekerjaan yang dikuasakan atau faktor lain yang
melingkupi.
Al-Wakalah merupakan jenis kontrak
ja'iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan
ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Pemberi kuasa (al-muwakkil) berhak
mencabut kuasa dan menghentikan penerima kuasa (al-wakil) dari pekerjaan yang
dikuasakan. Begitu pula sebaliknya, bagi penerima kuasa (al-wakil) berhak
membatalkan dan mengundurkan diri dari kesanggupannya menerima kuasa.
Dasar Penetapan
Al-Wakalah
Al-Wakalah
terkonsep dalam syariah berlandaskan beberapa macam dalil, antara lain :
1. Al-Qur’an
Q.S.
Al-Kahfi (18) ayat ke 19 :
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ
لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا
لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا
لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
3
“Dan demikianlah
Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
berkatalah salah seorang di antara mereka: “sudah berapa lamakah
kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau
setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa
lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk
pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah
makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan
hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu
kepada seorangpun.”
Maksudnya dari ayat
tersebut yaitu hanya Allah-lah yang lebih mengetahui urusan
kalian. Seakan-akan terjadi kebimbangan di kalangan mereka tentang lamanya
masa tidur mereka, hanya Allah yang lebih mengetahui. Kemudian akhirnya mereka
mengalihkan perhatiannya kepada urusan yang lebih penting bagi mereka saat itu,
yaitu mencari makanan dan minuman untuk mereka, karena mereka
sangat memerlukannya. Untuk itu mereka berkata:
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ
Maka
suruhlah salah seorang di antara kita pergi ke kota dengan membawa uang perak kita
ini. (Al-Kahfi: 19).
Yaitu uang perak kalian ini.
Demikian itu karena saat mereka pergi membawa sejumlah uang dirham perak dari
rumahnya masing-masing untuk bekal keperluan mereka. Di tengah jalan mereka
menyedekahkan sebagiannya, dan sisanya mereka bawa. Karena itulah disebutkan
oleh firman-Nya:
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ
هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ
Maka
suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota dengan membawa uang perak
kalian ini. (Al-Kahfi: 19)
Yakni kota yang telah
kalian tinggalkan.
Alif dan lam dalam lafaz Al-Madinah
menunjukkan makna 'Ahd, yakni sudah diketahui oleh lawan bicara, yaitu kota
bekas tempat tinggal mereka.
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى
طَعَامًا
dan hendaklah dia lihat
manakah makanan yang lebih baik. (Al-Kahfi: 19)
yang dimaksudkan adalah
hanyalah makanan yang halal lagi baik, tanpa memandang sedikit atau banyaknya.
4
Firman Allah Swt.:
وَلْيَتَلَطَّفْ
dan hendaklah dia
berlaku lemah lembut. (Al-Kahfi: 19)
Yakni bersikap ekstra
hati-hati dalam pulang perginya dan saat berbelanja. Mereka mengatakan bahwa
hendaklah ia menyembunyikan identitas pribadinya dengan segala upaya yang
mampu dilakukannya.
وَلا يُشْعِرَنَّ
dan janganlah
sekali-kali menceritakan hal kalian. (Al-Kahfi: 19)
Artinya, jangan sampai ada
orang yang mengetahui tentang hal ikhwal kalian.
Q.S.
An-Nisaa (4) ayat ke 35 :
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا
إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam pembahasan pertama disebutkan
bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam
pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk
itu Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
Dan
jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila
terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang
melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya
dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan
juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang
yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum
laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua
pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian
5
keduanya
melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara
berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat
menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di
dalam firman-Nya:
إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ
اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang
lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain
yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan
penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk.
Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak
suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada
pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak
perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di
bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika
kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu
rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi
jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali,
sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang
lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela
dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat
mewarisi pihak yang rela. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai
hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah
Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua
berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua
boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya
dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu
Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu
Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku
bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya,
istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu
Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika
kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan
bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal
suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan
Mu'awiyah untuk melerai keduanya.
6
Ibnu Abbas berkata,
"Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya
dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang
dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang
kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi
mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari
Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan
seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya
diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang
dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam
lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah
yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua
meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus
menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan
keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata,
"Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta,
demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan
keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat
Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui
Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali
dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain,
dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang
hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i
mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang
bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak,
atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang
bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan
Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk
mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal
yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang
dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah
Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)
Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang
bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai
wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan
keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun
memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.
7
Para Imam berselisih pendapat
sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim,
karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami
istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil
dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua
pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada
pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang
mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35), Dalam ayat ini keduanya
dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya,
sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna
lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari
mazhab Syafii juga menurut pendapat
Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya cenderung kepada pendapat yang
kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang
suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali
r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang
dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang
tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak
suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar
mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat
keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka
sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan
kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya
sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah
pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan?
Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat
dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa
perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).
Asbabun Nuzul
surah An-Nisa ayat 34 dan 35
Pada suatu
waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah Saw untuk mengadukan suatu
masalah, yaitu ia ditampar mukanya oleh sang suami. Kemudian Rasulullah Saw
bersabda “Suamimu itu harus diqishas (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda
Rasulullah saw itu Allah Swt menurunkan ayat ke 34-35 yang dengan tegas
memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik
istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah
mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishas
kepada suaminya yang telah menampar mukanya.
8
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan
masalahnya kepada Rasulullah saw. Ia bercerita bahwa mukanya ditampar oleh
suaminya, yang suaminya tersebut adalah salah seorang sahabat anshar. Maksud
kedatangan wanita tersebut adalah untuk menuntut balas terhadap perbuatan
suaminya itu. Pada saat itu Rasulullah mengabulkan permohonannya, sebab belum
ada ketegasan hukum dari Allah Swt. Sehubungan peristiwa tersebut Allah Swt
menurunkan ayat ke 34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami
untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun juga ayat ke-114
dari surat thaha yang artinya:
“Maka
Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah:
"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
Ayat
ini turun sebagai teguran terhadap Rasulullah Saw. Beliau dilarang memutus
suatu perkara sebelum ayat Alquran diturunkan, sebagaimana yang beliau lakukan
memeberi hukum qishas terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (H.R ibnu
Jarir).
2. Al-Sunnah:
Banyak hadis menjadi
landasan keabsahan al-wakalah, di antaranya:
HR. Ahmad dari Abi
Rafi’, mengatakan:
“Bahwasanya Rasulullah menikahi Maimunah dalam
keadaan halal, dan menggaulinya dalam keadaan halal, dan aku adalah delegasi
antara keduanya”.
“Bahwasanya
Rasulullah Saw mewakilkan kepada Abu Rafi’i dan seorang Anshar untuk
mewakili mengawini Maimunah binti alHarits.” (HR.
Malik).
Dari
Jabir ra berkata, aku keluar hendak pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada
Rasulullah saw., aku katakan kepada Beliau, “Sungguh aku ingin keluar ke
Khaibar”. Lalu Beliau bersabda, "Bila engkau datang pada wakilku di
Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq." (HR. Abu Daud)
Dalam
kehidupan sehari-hari, Rasulullah mewakilkan kepada orang lain dalam menangani
berbagai urusan. Membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan pembayarannya,
mewakilkan penanganan unta, pendelegasian dakwah, dan lain sebagainya merupakan
contoh konkrit diakuinya al-wakalah di masa Nabi.
9
3.
Ijma’
Para
ulama pun sepakat dengan ijma, bahwa wakalah diperbolehkan. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunahkan dengan alasan bahwa hal tersebut
merupakan jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan
taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh al-Qur'an dan disunnahkan oleh Rasul.
Dalam perkembangan
fiqih Islam, status wakalah terjadi perbedaan pendapat :
a) Pendapat pertama menyatakan bahwa nia’bah atau
mewakili. Menurut pendapat ini si wakil tidak adpat menggantikan
seluruh fungsi muwakil
b) Pendapat kedua
menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah, karena khilafah (menggantikan)
di bolehkan untuk yang menyerahkan kepada yang lebih baik.
Sebagaimana dalam jual beli, melakukan pemabayaran secara
tuai lebih baik walaupun diperkenankan secara kredit.
C. Rukun dan
Syarat-syarat Wakalah
Sesuatu
hal yang penting, baik menyangkut ibadah maupun muamalah. Ketika
seseorang akan melaksanakan harus memenuhi beberapa syarat dan rukun.
Termasuk ketika seseorang akan melakukan wakalah maka harus memenuhi
syarat dan rukunnya. Adapun rukun dan syarat
wakalah adalah sebagai berikut :
1. Pemberi kuasa
(al-muwakkil)
Seorang
pemberi kuasa disyaratkan memiliki hak tasharruf (mempergunakan barang) secara
sah atas bidang-bidang yang dikuasakan. Hal ini disesuaikan dengan persyaratan
dalam bidang-bidang tersebut. Seperti halnya pemberian kuasa untuk
membelanjakan harta, maka syarat bagi pemberi kuasa adalah memenuhi kualifikasi
baligh, berakal dan berstatus ahli tasharruf, dan lain sebagainya. Hanya saja
ada persoalan yang dikecualikan, yakni permasalahan orang buta yang meskipun
pada dasarnya tidak sah melangsungkan transaksi jual beli karena
keterbatasannya menilai barang dengan penglihatan, namun diperbolehkan
mewakilkan orang lain melangsungkan jual beli.
2. Penerima kuasa
(al-wakil)
Sebagaimana pemberi kuasa, penerima
kuasa juga disyaratkan memiliki hak tasharruf secara sah atas bidang-bidang
yang dikuasakan. Sehingga anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi wakil.
Orang buta juga tidak sah menjadi wakil dalam jual beli dan pekerjaan lain yang
disyaratkan mampu melihat. Dikecualikan permasalahan mengirimkan hadiah,
memberi ijin masuk rumah, dimana hal ini boleh diwakilkan kepada anak kecil
yang sudah mencapai taraf tamyiz dan dapat dipercaya.
10
Seseorang yang menerima kuasa,
disyaratkan harus mu’ayyan (jelas perseorangannya). Sehingga tidak sah
mewakilkan pekerjaan pada salah satu dari dua orang tanpa ditunjuk secara jelas
atau mengatakan, ”Aku wakilkan untuk menjual rumah ini kepada siapa saja yang
menginginkan”. Kemudian, penerima kuasa juga
harus memiliki sifat adil, apabila kuasa tersebut berasal dari seorang qadhi,
atau saat menerima kuasa dari seorang wali untuk menjualkan harta orang-orang
yang ada dalam tanggungannya.
3. Sesuatu yang
diwakilkan (al-muwakkal fihi)
a. Obyek
harus berbentuk pekerjaan yang pada saat dikuasakan menjadi hak pemberi kuasa
(al-muwakkil). Sehingga tidak sah mewakilkan penjualan barang yang tidak
dimiliki al-muwakil, atau akan dimilikinya. Kecuali mewakilkan penjualan barang
yang akan dimiliki secara taba'i (mengikuti barang yang sudah ada dalam
kepemilikan). Seperti, mewakilkan untuk menjual buah yang akan dikeluarkan
pohon milik al-muwakkil. Meskipun buah belum ada, namun dinilai sah karena
pohonnya dimiliki oleh al-muwakkil.
b. Pekerjaan
yang dikuasakan harus jelas spesifikasi dan kriterianya, meskipun hanya dari
satu tinjauan. Hukumnya sah mengatakan, ”Aku mewakilkanmu untuk melunasi
hutangku”, meskipun al-wakil tidak tahu persis hutang yang mana dan siapa saja
yang menghutangi.
c. Obyek
harus dari jenis pekerjaan yang menerima untuk dikuasakan pada orang lain.
Sehingga ulama berpendapat, tidak sah menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah murni, seperti shalat dan puasa. Namun boleh menguasakan ibadah yang
kemampuan badan menjadi syarat pelaksanaan, bukan syarat wajib, seperti haji
dan umrah. Atau menguasakan hal-hal yang bersifat penyempurna dalam sebuah
ibadah, seperti pembagian harta zakat pada mereka yang berhak
4. Ucapan perwakilan
(sighat)
Shighat yang dimaksud di sini lafadh
mewakilkan yang merupakan bentuk kerelaan mewakilkan dan orang-orang
mewakilkan menerima. Pengertian aqad menurut bahasa
adalah ikatan yang diantara ujung sesuatu barang. Sedangkan
menurut istilah para ahli fiqih ialah ijab qabul menurut cara
yang disyari’atkan sehingga tampak akibatnya.
Akan tetapi dalam hal ini wakalah
tidak mensyaratkan adanya lafazd tertentu namun aqad wakalah
sah dengan apa saja yang dapat menunjukkan hal baik berupa ucapan
maupun perbuatan. Serta untuk kedua belah pihak yang
melakukan akaq boleh kembali dan men-fasahk-kan aqad
dalam hal apa saja. Karena ia termasuk jenis aqad yang jaiz, artinya
kezaliman. Sedangkan shigat menurut ijab qabul yang merupakan rukun wakalah
harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Satu
sama lain berhubungan di suatu tempat tanpa ada pemisah yang merusak.
11
b. Ada
kesepakatan antara ijab dan qabul pada barang dan saling dijual diantara
mereka. berapa barang yang dijual dan harga barang. Jika keduanya
tidak sepakat, maka
wakalah
(aqad) dinyatakan tidak sah. sebaliknya apabila keduanya
menyatakan sepakat maka jual beli itu sah.
c. Ungkapan
harus menunjukkan masa lalu (madhi) seperti perkataan muwakil
“aku rela mewakilkan” dan perkataan muwakil/wakil “aku telah
terima” atau masa sekarang (mudhari) jika yang diinginkan pada masa
yang akan datang dan semisal maka hal itu merupakan janji untuk beraqad
tidaklah sebagai akaq yang sah secara hukum. Perkataan atau ungkapan ijab qabul
sesuai dengan adat dan kebiasaan, ungkapan tidak harus sama dan
tiap-tiap daerah bisa berbeda. Adal ungkapan itu menunjukkan ikatan
perwakilan yang baik. Adapun ungkapan lisan dalam ijab qabul
bukanlah suatu jalan yang yang harus dipenuhi. Akan tetapi
bisa dengan jalan seperti tulisan.
Hal-hal
yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan
Pada
hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad
boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang
lain. Sebagaimana
dikemukakan di atas, dalam jual beli diberbolehkan seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual atau membelikan sesuatu. Dalam
hal ini boleh tanpa adanya ikatan harga tertentu, namun harus menjual
dengan harga pasar tidak
boleh berspekulasi, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Karena
menurut Abu
Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq.
Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq.
Namun bila yang
mewakili tersebut sampai menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati dan penyimpanan tersebut dapat merugikan
pihak yang diwakili, maka
tindakan tersebut adalah batil menurut pandangan mazhab Syafi’i sedangkan menurut Hanafi tindakan tersebut tergantung pada
kerelaan orang yang mewakilkan.
Ibadah bersifat
badaniyah tidak boleh diwakilkan. Sedangkan dalam ibadah yang sifatnya pribadi tidak boleh diwakilkan, misalkan
shalat dan puasa ramadhan.
kecualai haji, menyembelih kurban, membagi zakat, puasa kifarat dan rakaat thawaf terakhir dalam haji menurut Imam Taqiyuddin dapat diwakilkan.
Dalam hal qishas
para ulama masih berselisih dapatkah diwakilkan. Abu Hanifah dalam hal ini tidak membolehkan, kecuali orang yang mewakilkan hadir. Jika tidak hadir, tidak boleh, karena dialah yang
berhak, jika ia hadir mungkin dapat dimaafkan karena itu ditengah ketidak
jelasan ini pembayaran
qishas tidak diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik membolehkan sekalipun orang yang mewakilkan tidak hadir, pendapat
ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
12
Berakhirnya Kontrak Al-Wakalah
Wakalah
merupakan suatu kesepakatan/perjanjian tertentu mengenai hal
tertentu. Maka, pada saat tertentu dan dalam kondisi tertentu bisa saja berakhir.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terhentinya kontrak al-wakalah,
yakni:
1. Al-Faskh (pembatalan
kontrak)
Sebagaimana di atas bahwa
al-wakalah adalah jenis kontrak ja'iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak
berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Sehingga ketika
al-muwakkil memberhentikan al-wakil dari kuasa yang dilimpahkan, baik dengan
ucapan langsung, mengirim kabar atau surat pemecatan, maka status al-wakil
sekaligus hak kuasanya saat itu juga dicabut. Hal ini berlaku baik al-wakil
hadir atau tidak hadir, mendengar atau tidak mendengar tentang perihal
pemecatannya. Dan apabila al-wakil sampai terlanjur melakukan tasharruf, maka
dinilai batal, meskipun al-wakil belum menerima kabar pemecatan dirinya. Sebanding
ketika pihak al-wakil yang mengundurkan diri dari kontrak, maka al-wakalah
ditetapkan berakhir meskipun al-muwakkil belum mengetahuinya.
2 .Cacat kelayakan
tasharruf-nya
Yakni ketika salah satu dari kedua
belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat karena menyia-nyiakan
harta) atau falas (cacat karena harta tidak setimpal dengan beban hutang). Atau
karena mengalami kematian, baik diketahui oleh pihak yang lain atau tidak.
3. Hilangnya status
kepemilikan atau hak dari pemberi kuasa (al muwakkil).
Hal ini terjadi ketika al-muwakkil
semisal menjual sepeda motor yang dikuasakan kepada al-wakil untuk disewakan,
sepeda motor dicuri atau mungkin mengalami kerusakan total. Contoh
al-muwakkil yang kehilangan haknya adalah wali yang mewakilkan penjualan harta
milik anak kecil tanggungannya, kemudian di tengah berlangsungnya al-wakalah,
anak kecil tersebut menginjak usia baligh.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wakalah menurut bahasa artinya al-hifdz
(perlindungan), at-tafwid (penyerahan), dan pendelegasian atau pemberian
mandat. menurut
istilah syar’i wakalah ialah akad perwakilan antara dua pihak, di mana
pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas
nama pihak pertama. Tentu dalam hal perwakilan yang boleh diwakilkan.
Secara umum bahwa wakalah pada
intinya merupakan pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh
seseorang kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat
diwakilkan dengan suatu akad tertentu pula. Pelimpahan
kekuasaan tersebut dilakukan oleh pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak
kedua dalam melakukan sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang diberikan
oleh pihak pertama, akan tetapi apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai dengan
syarat yang telah ditentukan maka semua resiko dan tanggung jawab sepenuhnya kembali
menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
Dari jenisnya wakalah
terbagi menjadi wakalah al muthlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak,Wakalah al
muqayyadah dan Wakalah al ammah, dari tinjauan hukum, al-wakalah
bisa memiliki muatan sunnah, makruh, haram atau bahkan wajib, sesuai dengan
motif pelaku wakalah. Wakalah di tetapkan dengan dasar
hukum yang bersumber dari Al-quran, As-sunnah
dan ijam' ulama.
Rukun al-wakalah adalah adanya
Al-Muwakkil (Pemberi kuasa), Al-Wakil (Penerima kuasa), Shighat (ucapan
perwakilan) dan Al-Muwakkal fihi (obyek atau pekerjaan yang dikuasakan). Dan
wakalah akan berakhir apabila di batalkan oleh kedua belah pihak, kedua belah
pihak mengalami kecacatan tasharruf dan hilangnya status kepemilikan si pemberi
kuasa.
14
DAFTAR PUSTAKA
Azka, Darul. Konsep dan
Dasar-Dasar Al-Wakalah. majalahmisykat.blogspot.com,
Januari, 2010.
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan
Terjamahnya, Jakarta: Intermassa, 1986.
Ifham,Solihin, Ahmad.
Ini Lho Bank Syari'ah. PT Grafindo Media Pratama,
Jakarta, 2008.
Rais, Isnawati dan Hasanuddin. Fiqh Muamalah dan Aplikasi pada Lembaga
Keuangan Syariah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
Suhendi, Hendi. Fiqih
Muamala., Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Syafei,
Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tafsir
Ibnu Katsir, Kampungsunnah.org, 2013.
izin menyalin ?
BalasHapus