Kamis, 27 Desember 2018

MAKALAH IMPLEMENTASI JUAL BELI VALUTA ASING (AL-SHARF) DI PERBANKAN SYARIAH



IMPLEMENTASI JUAL BELI VALUTA ASING (AL-SHARF) DI PERBANKAN SYARIAH
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Sharf
Secara Bahasa, al-sharf berarti ziyadah (tambahan), Al ‘Adl (seimbang) dalam transaksi jual beli. Sedangkan secara istilah, al-sharf berarti jual beli mata uang dengan mata uang, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, seperti jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, arau emas dengan perak.[1]


Al-Sharf ini merupakan bagian dari jual beli atau al-bay’ seperti pada umumnya. Dimana jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela antara dua pihak, dimana yang satu memberikan benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah ditentukan syara’.
Al-sharf juga dapat di artikan pertukaran dua jenis barang berharga atau jual-beli uang dengan uang atau disebut juga valas, atau jual-beli antar barang sejenis secara tunai, atau jual-beli pertukaran antara mata uang suatu Negara dengan mata uang Negara lain. Misalnya Rupiah dengan Dollar dan sebagainya.[2]
Beberapa ulama mendefinisikan al-sharf sebagai berikut:[3]
1.      Menurut Wahbah al-Zuhaili, Al-Sharfialah merupakan  pertukaran mata uang dengan mata uang lainya baik satu jenis maupun lain jenis, seperti uang dolar dengan uang rupiah atau uang rupiah dengan uang ringgit.
2.      Menurut Abd. Al-Rahman Al-Jazairi, Al-Sharfialah merupakan pertukaran mata uang asing dengan uang rupiah, emas dengan emas, perak dengan perak, atau salah satu dari keduanya.
3.      Menurut Ibn Maudud Al- Maushuli, bahwa Al-Sharfialah merupakan pertukaran mata uang dengan mata uang lainya atau satu jenis barang dengan jenis barang lainya yang sama cetakan, bentuk, dan logam. Apabila yang ditukar uang dengan uang atau emas dengan emas, perak dengan perak maka hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan semisal serta secara serah terima.
4.      Menurut Veith Rivai, bahwa Al-Sharf adalah jual beli mata uang. Pada asalnya mata uang merupakan emas dan perak. Biasanya uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham.
Dari beberapa definisi di atas dapat penulis simpulkan bahwa Al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Al-sharf
secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan
sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang mencakup beberapa hal sebagai berikut: pembelian mata uang, pertukaran mata uang, pembelian barang dengan uang tertentu.[4]

B.      Dasar Hukum Al-Sharf
1.      Menurut Al-quran
Tidak ada yang menjelaskan tentang jual beli al-sharf ini di dalam Al-qur’an, namun melainkan hanya menjelaskan tentang dasar hukum mengenai jual beli yang pada umumnya. Hal ini tetrdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu sebagai berikut:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
 “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”

2.      Menurut Al-Hadis
Menurut Para Fuqaha, menyatakan bahwa kebolehan melakukan praktek al-sharf didasarkan pada sejumlah hadis nabi yakni antara lain berpendapat :
a.       Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba, kecuali yang berlainan warnanya” (H.R Muslim)
b.      Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual kehendakmu asal tunai.”
c.       Dari Abu Bakrah r.a Nabi SAW. Melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak kami pula” (H.R Bukhari-Muslim).
d.      Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas dengan emas setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding” (H.R Ahmad, Muslim dan Nasa’i)[5]
3.  Menurut ijma                        
Jadi jual-beli Al-sharf yaitu perjanjian jual-beli mata uang asing (valuta asing) atau transaksi pertukaran emas dengan perak, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau mata uang asing lainnya yang secara tunai. Dalam hal ini Ulma sepakat (ijma’) bahwa akad ash-sharf sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang(Al-Sharf) di-syari’atkan dengan ketentuan yaitu[6]:
a) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
d) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

C.     Rukun dan Syarat Al-Sharf
Dari beberapa penjelasan di atas, telah kita ketahui apa itu yang dimaksud dengan al-sharf. Untuk lebih memperdalam wawasan atau pengetahuan kita tentang al-sharf, oleh karenanya kita perlu mengetahui apa saja rukundan syarat-syarat dari al-sharf tersebut.
1.      Rukun Al-Sharf
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli al-sharf ada empat, yaitu sebagai berikut:
a.       Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembali).
b.      Ada shighat (lafal ijab dan qabul).
c.       Ada barang yang dibeli.
d.      Ada nilai tukar pengganti barang.[7]

2.      Syarat Al-Sharf
Para fuqoha berpendapat bahwa persyaratan ketika hendak memberikan jasa atau layanan jual-beli uang terdiri dari hal-hal sebagai berikut[8]:
a.       Nilai tukar dari mata uang yang akan diperjualbelikan telah dikuasai, sebelum kedua pihak berpisah badan. Penguasaan tersebut bisa dalam bentuk penguasaan secara material, misalnya pihak pembeli langsung menerima mata uang won Korea yang dibeli dan pihak penjual langsung menerima uang rupiah. Adapun dari penguasaan yang secara hukum, misalnya mengenai pembayaran dengan menggunakan cek. Para ahli Fiqh berpendapat, syarat ini sebagai alat agar terhindar dari adanya riba nasi’ah. Apabila kedua belah pihak atau salah satunya tidak menyerahkan barang secara tunai hingga keduanya berpisah maka akad al-sharf menjadi tidak sah atau batal.
b.      Jika valuta atau mata uang yang diperjualbelikan adalah mata uang dengan jenis yang sama, maka jual beli valuta atau mata uang tersebut harus dilakukan dalam mata uang yang sejenis dengan kualitas dan kuantitas yang sama, meskipun model dari mata uang tersebut berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah lembaran kertas senilai Rp. 7.000;- ditukar dengan uang logam, maka harus sama nilainya.
c.       Dalam al-sharf, tidak diperbolehkan adanya sesuatu yang di persyaratkan dalam akad, seperti adanya hak khiyar syarat bagi pihak pembeli. Hal ini dikarenakan selain untukk menghindari riba, juga beralasan karena hak khiyar membuat hukum akad jual beli menjadi belum tuntas. Sedangkan dalam jual beli al-sharf salah satu syaratnya yaitu adalah penguasaan valuta atau mata uang yang dipertukarkan sesuai dengan nilai tukar dari keduanya oleh masing-masing pihak.
d.      Pada akad al-sharf juga tidak boleh ada tenggang waktu antara penyerahan valuta atau mata uang yang saling dipertukarkan atau diperjualbelikan, alasannya karena sahnya al-sharf yaitu penguasaan objek dari akad diharuskan secara tunai dan terjadinya saling menyerahkan itu juga diharuskan telah berlangsung sebelum kedua belah pihak yang melakukan jual beli mata uang tersebut berpisah.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), Fatwa DSN no. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual beli mata uang atau al-sharf. Menurut  fatwa tersebut, prinsip jual beli mata uang dalam transaksinya diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Tidak untuk spekulasi atau  untung-untungan
b.      Hanya untuk berjaga-jaga atau sebagai simpanan dan adanya kebutuhan transaki
c.       Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang yang sejenis, maka nilainya harus seimbang atau sama dan dilakukan secara tunai (at-taqabudh)

D.    Implementasi Al-Sharf di Perbankan Syariah
Transaksi valuta asing atau jual beli mata uang diperbolehkan apabila menurut prinsip yang dibenarkan oleh syariah. Semakin meningkatnya volume transaksi pembayaran internasional menjadikan kebutuhan akan transaksi valuta asing pun kian meningkat. Pada bank syariah, transaksi valuta asing atau al-sharf haruslah memenuhi prinsip perstukaran secara spot, berlangsung dengan cara tunai dan tidak mengandung unsur spekulasi.
Implementasi al-sharf di lembaga keuangan syariah saat ini  baru tampak di perbankan syariah. Akad al-sharf pada perbankan syariah merupakan salah satu produk perbankan dalam penyaluran dana. Bank dalam konteks ini bertindak sebagai penjual (bai’) dan nasabah bertindak sebagai pembeli (mustari).[9]
Seperti yang telah di bahas sebelumnya, bahwa prinsip utama dalam melakukan akad al-sharf adalah pertukaran mata uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Al-sharf membenarkan transaksi jika dilakukan dengan maksud untuk berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada  syarat yang harus dipenuhi yaitu seperti yang telah penulis ungkapkan di pembahasan sebelumnya. Apabila transaksi dilakukan untuk mata uang yang sejenis, maka dengan nominal yang harus sama pula dan dilakukan secara tunai. Untuk transaksi mata uang  yang berbeda, maka harus dilakukan dengan nilai tukar atau disebut dengan kurs yang berlaku pada saat terjadinya transaksi tersebut.
Dalam implementasinya dewasa ini, Menurut Hanafi (2004) terdapat beberapa jenis transaksi valuta asing  di dunia perbankan ataupun yang terjadi di psar valas, yakni sebagai berikut:
1.      Transaction spot (transaksi spot)
Transaksi spot merupakantransaksi valuta asing dengan penyerahan dan pembayaran yang dilakukan saat itu juga, meskipun dalam praktek transaksi spot akan diselesaikan pada dua hari kerja berikutnya. Misalnya kontrak jual beli suatu mata uang spot dilakukanatau ditutup pada tanggal 24 Juni 2018, penyerahan dan penyelesaian kontrak tersebutdilakukan pada tanggal 26 Juni 2018, apabila pada tanggal 26 tersebut kebetulan hari libur atau hari sabtu maka penyelesaiannya adalah pada hari kerja berikutnya dan penyelesaian transaksi seperti ini disebut dengan value date.
Menurut Kuncoro (2001) Penyerahan dana dalam transaksi spotpada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara berikut ini:
a.       Cash, yaitu penyerahan dana dilakukan pada tanggal atau hari yang sama dengan tanggal atau hari diadakannya transaksi atau kontrak tersebut.
b.      Tom, yaitu kepekan dari tomorrow yang artinya penyerahan dan dilakukan pada hari kerja berikutnya atau hari kerja setelah diadakannya kontrak.
c.       Spot, yaitu penyerahan yang dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi.
Transaksi spot ini hukumnya adalah boleh karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2.      Forward Transaction (Transaksi berjangka)
Transaksi forward merupakan transaksi valuta asing dengan penyerahan pada beberapa waktu mendatang sejumlah mata uang tertentu berdasarkan sejumlah mata uang tertentu yang lain. Kurs dalamtransaksi forward ditentukan di muka, sedangkan penyerahan dan pembayaran dilakukan beberapa waktu mendatang pada saat kontrak jatuh tempo.
            Transaksi forward ini biasanya sering digunakan untuk tujuan hedging danspekulasi. Hedging atau pemagaran risiko yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk menghindari risiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs. Atas alasan tersebut, transaksi jenis ini adalah hukumnya haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.
3.      Transaksi Swap
Transaksi Swap yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara
penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya “haram” karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4.      Transaksi Option
             Transaksi Option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal
akhir tertentu. Hukumnya “haram”, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).[10]

 Simpulan

Al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Al-sharf secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang mencakup beberapa hal sebagai berikut: pembelian mata uang, pertukaran mata uang, pembelian barang dengan uang tertentu.
Landasan hukum yang dapat digunakan dalam melaksanakan transaksi Al-Sharf antara lain dari Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275, serta beberapa hadits nabi dan Fatwa DSN/MUINO: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Implementasi al-sharf pada perbankan syariah merupakan salah satu produk perbankan dalam penyaluran dana. Bank dalam konteks ini bertindak sebagai penjual (bai’) dan nasabah bertindak sebagai pembeli (mustari). Prinsip utama dalam melakukan akad al-sharf adalah pertukaran mata uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi.









DAFTAR PUSTAKA


Al-Zuhaili, Wahbah. Al- Fiqh Al-Islami wa Adilatuh. Berkut: Darr Al-Kutub, 1989.
Ghofur, Abdul A. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, Cetakan 2, 2007.
Hasan, Ahmad. Mata Uang Islami. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Janwari, Yadi. Fikih Lembaga Keuangan Syariah. Bandung:Rosda, 2015.
Raziqa, A. Al-Sharf dalam Hukum Islam. 2013.
Rianto, Nur, Al Arif. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: Pustaka Setia, 2012. 




[1] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh (Berkut: Darr al-Kutub,1989), hlm, 636.

[2] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (Jakarta: Rajagrafindo Persada , 2005), hlm, 76.

[3] A Raziqa,  Al-Sharf dalam Hukum Islam (2013)
[4] A Raziqa, Al-Sharf dalam Hukum Islam (2013)
[5] Nur rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 192
[6] Ketentuan Umum Al-Sharf: Fatwa Dewan Syariah Nasional No.28/DSNMUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
[7] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cetakan 2, 2007)
hlm. 114
[8] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press 2009) hlm. 17
[9] Yadi Janwari, Fikih Lembaga Keuangan Syariah,(Bandung: Rosda, 2015), 55.
[10] Ibid, hlm, 56.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar